Rabu, 21 April 2010

Peradilan Pajak dan Sistem Penyelesaian Sengketa Pajak

Peradilan Pajak dan Sistem Penyelesaian Sengketa Pajak

Saat ini publik sedang dikejutkan dengan kasus Gayus Tambunan (GT) yang di dalam rekeningnya terdapat uang sebanyak Rp28 miliar. Uang sebanyak itu disangkakan berasal dari perbuatan kolusi GT dengan hakim pajak di Pengadilan Pajak. Sejak kasus GT ini mengemuka Pengadilan Pajak yang sebelumnya tidak dikenal publik menjadi seterkenal sang notoriusnya sendiri, si pemilik rekening yang menghebohkan itu.

Peradilan Pajak
Peradilan pajak adalah sebuah peradilan administrasi karena objectum litis-nya adalah sengketa pajak yang merupakan bagian dari hukum administrasi negara. Dari sudut kedudukannya, peradilan pajak diakui eksistensinya dalam Pasal 15 ayat (1) UU No 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 9A UU No 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Pra-TUN) sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No 9/2004, yang menyebutkan Pengadilan Pajak sebagai pengadilan khusus di lingkungan Pra-TUN. Secara fungsional peradilan pajak diatur dalam UU No 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU No 28/2007 (KUP), UU No 10/1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan UU No 17/2006 dan UU No 11/1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan UU No 39/2007 dan UU Pengadilan Pajak.
Berdasarkan UU tersebut, setiap wajib pajak (WP) yang tidak setuju dengan penetapan administrasi pajak atas jumlah pajak terutangnya dalam suatu surat ketetapan pajak (SKP) atau surat pemberitahuan kekurangan pembayaran bea masuk, cukai, denda administrasi dalam rangka impor (SPKPBM) dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak untuk SKP dan Dirjen Bea dan Cukai untuk SPKPBM. Apabila keputusan keberatan tidak dapat diterima WP karena, misalnya, keberatannya ditolak atau diterima sebagian, WP dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak. Pengadilan Pajak juga memiliki kewenangan absolut untuk memeriksa dan memutuskan banding yang diajukan oleh WP atas penetapan pajak daerah yang terutang yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Dengan hanya dua tingkatan, yakni keberatan dan banding dan dapat diakhiri dengan upaya hukum luar biasa PK ke MA, peradilan pajak merupakan sistem penyelesaian sengketa pajak yang sederhana jika dibandingkan dengan upaya administratif sebagaimana dimaksud Pasal 48 UU Pra-TUN yang menganut proses penyelesaian dengan hierarki berlapis-lapis.
Keberatan pajak menurut Pasal 48 UU Pra-TUN, yang merupakan suatu upaya administratif di bidang perpajakan atau administratief beroep (Lotulung, 1986), adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh WP terhadap keputusan tata usaha negara (TUN) kepada pejabat TUN yang menerbitkan suatu penetapan (beschiiking), misalnya Dirjen Pajak atau Dirjen Bea dan Cukai. Apabila keputusan pejabat TUN ini tidak dapat diterima, WP dapat mengajukan upaya hukum banding administratif, yakni upaya hukum yang diajukan kepada atasan pembuatan penetapan pajak terutang, dalam hal ini menteri keuangan (menkeu). Apabila keputusan menkeu atas banding administratif tidak juga dapat diterima, WP dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan TUN. Kemudian atas putusan Pengadilan TUN ini kedua pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi TUN dan apabila masih ada pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan kasasi ke MA dan seterusnya.
Dengan menggunakan sistem penyelesaian sengketa pajak menurut Pasal 48 ini, penyelesaian sengketa pajak akan memiliki pemeriksaan vertikal yang begitu berlapis-lapis. Kepastian hukum bagi pihak-pihak yang bersengketa karenanya membutuhkan waktu yang lama. Itu berpengaruh, baik kepada bisnis WP maupun pembuatan APBN.

Timbulnya sengketa pajak
Myron S Scholes dan Mark A Wolfson (1992) menerangkan sebab timbulnya sengketa, 'The inherent ambiguity in the tax law give rise to numerous dispute between taxpayers and the taxing authority, since the these parties have opposing interests regarding the assessment of tax liabilities'. Di beberapa kesempatan penulis menyampaikan sebab-sebab timbulnya sengketa pajak sebagai berikut.
1. Adanya keterbatasan pengetahuan perundang-undangan perpajakan WP, menyangkut masalah formal-administratif, serta validitas bukti-bukti perhitungan pajaknya;
2. Adanya pencatatan berdasarkan metode akuntansi yang berbeda untuk pembukuan secara komersial dan fiskal;
3. Adanya perbedaan interpretasi (grey area) dan law loophole; dan/atau
4. Adanya vested interest (yang memengaruhi disiplin dalam pemungutan dan pemenuhan kewajiban perpajakan).
Saat ini publik dan media telah diyakini pihak tertentu bahwa kasus GT berlatar belakang sengketa pajak dengan sebab yang keempat, yakni adanya vested interest, karena GT dianggap telah melakukan kolusi dengan pihak hakim Pengadilan Pajak untuk memenangkan banding dari beberapa WP yang melakukan penggelapan pajak. Sebetulnya, di setiap tingkatan, mulai pemeriksaan pajak hingga peninjauan kembali ke MA, selalu terjadi kontak antara WP dan pihak-pihak terkait. Kontak seperti itu dapat memberikan peluang terjadinya berbagai penyimpangan.

Putusan Pengadilan Pajak
Sebelum mencuatnya kasus GT, keberadaan Pengadilan Pajak banyak disikapi secara skeptis dan pesimistis karena keterlibatan menkeu di dalam mengajukan daftar calon hakim pengadilan itu kepada presiden serta dalam pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan Pajak. Keterlibatan menkeu ini sebelumnya sangat diyakini akan membuat pengadilan itu tidak mampu bersikap independen dari pemerintah. Kenyataannya, sebagaimana yang dilansir media, 80% putusan Pengadilan Pajak mengabulkan banding WP. Di satu pihak hal itu mengindikasikan Pengadilan Pajak telah mampu menjaga sikap independennya dan di lain pihak menteri keuangan tidak melakukan intervensi atas kekuasaan pengadilan itu. Namun setelah kasus GT muncul, tiba-tiba ICW dengan lugas menyatakan dengan kemenangan WP tersebut negara telah dirugikan sekitar Rp12,5 triliun (Media Indonesia, 30 Maret 2010).
Apakah pernyataan ICW tersebut didasarkan kepada suatu asumsi bahwa apa yang ditetapkan pemeriksa pajak atau keputusan keberatan sudah pasti benar sehingga putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan banding WP berarti merugikan keuangan negara? Untuk tidak tergelincir pada pembunuhan karakter dan kriminalisasi putusan Pengadilan Pajak, ada baiknya dipahami dulu raison d' etree dari Pengadilan Pajak. Menurut Pasal 2 UU PP, Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi WP atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Berdasarkan pasal ini, pengadilan itu hadir untuk memberi keadilan bagi WP atau penanggung pajak. Adil bagi WP ini tentunya tidak hanya berarti bandingnya dikabulkan Pengadilan Pajak tetapi dapat berarti sebaliknya, banding WP ditolak. Adil berarti diterapkannya secara benar peraturan undang-undangan atas fakta hukum yang ada tanpa pandang bulu.
Secara normatif putusan pengadilan yang memenangkan WP, sepanjang ketentuan tentang pemeriksaan dan pembuktian dalam persidangan dilaksanakan sebagaimana mestinya, berarti sebagian atau seluruhnya jumlah pajak terutang yang dihitung administrasi pajak tidak berdasarkan aturan undang-undang apa pun alasannya. Pajak yang dipungut tidak sesuai aturan undang-undang bukan merupakan hak negara, dengan demikian dikabulkannya banding WP oleh PP tidak identik merugikan keuangan negara.
Dalam sistem perpajakan kita, administrasi pajak memiliki kewenangan yang begitu besar. Sudah seharusnya kewenangan tersebut diimbangi adanya peradilan pajak yang dapat dipercaya dan berjalan secara efisien dan efektif. Untuk itu, diperlukan peradilan pajak yang independen, kompeten, dan berintegritas agar perlahan-lahan dapat meningkatkan rasa nyaman (convinience) WP dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Oleh Dr Hadi Buana, Pengajar Sekolah Tinggi Akuntansi Negara


sumber : http://www.mediaindonesia.com/read/2010/04/04/136012/68/11/Peradilan-Pajak-dan-Sistem-Penyelesaian-Sengketa-Pajak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar