Kamis, 22 April 2010

bunda kerja dulu yah sayang...

Bunda Kerja Dulu, Ya, Sayang...





Setelah menjalani cuti hamil, sudah waktunya Anda kembali ngantor. Terbayang akan bebas dari rutinitas mengurus bayi dan senang kembali pada kesibukan dunia kerja.

Namun, ketika tatapan Anda terpaku pada si kecil yang tampak begitu damai dalam tidurnya, Anda pun lalu terkungkung dalam sebuah dilema, sebuah konflik batin yang panjang dan seolah tak berujung.

BISA MEMICU DEPRESI
Sebuah studi di Amerika Serikat menunjukkan, antara 1991-1995, 67% wanita AS yang mengandung anak pertama ternyata tetap bekerja hingga waktunya melahirkan, dan 52% wanita di sana baru kembali bekerja enam bulan setelah melahirkan. Mereka memanfaatkan fasilitas cuti dalam tanggungan (paid leave) yang disediakan oleh perusahaan. Masih dari studi tersebut, 27% wanita berhenti bekerja sebelum atau sesudah melahirkan.

Menurut Dra. Ira Petranto, PSI, MM, psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia, selain dipicu oleh faktor biologis (menurunnya kadar hormon tertentu, kelelahan fisik dari proses melahirkan), baby blues juga dipicu oleh berbagai faktor psikologis. Antara lain, perasaan tidak menarik lagi, rasa percaya diri yang memudar dan sulit berkonsentrasi, juga menurunnya gairah seksual.

Selain itu, banyak di antara ibu yang merasa terpaksa kembali bekerja dan meninggalkan bayinya di rumah, mengalami shock akibat ketidaksiapannya menjalani masa transisi. Para ibu ini sulit menjalankan tugas dan tanggung jawab, dan sulit membagi perhatian antara pekerjaan dan keluarga.

CUTI HAMIL EFEKTIF
Masa cuti hamil memang hendaknya dipergunakan sebaik-baiknya, untuk mempersiapkan mental sebelum kembali ke kantor. Paling tidak, sebulan sebelum hari H si ibu sudah berlatih melakukan ‘manajemen pagi’, yaitu melakukan tugas-tugas mengasuh si kecil dan persiapan ke kantor secara rutin dan tepat waktu.

Agar bisa segera back on track, sebaiknya ia tak segan-segan untuk bertanya pada kolega maupun atasannya. Jika si ibu sudah telanjur tertinggal pekerjaan, tak ada cara lain selain bekerja lebih keras dari biasanya.

Sayangnya, Ira melihat adanya kecenderungan bahwa ibu-ibu yang baru melahirkan mempersingkat masa cuti melahirkan dengan alasan takut kalau-kalau posisi kariernya diserobot orang lain. Padahal, masa cuti 1,5 bulan setelah melahirkan adalah waktu minimal yang diperlukan seorang ibu untuk pulih secara biologis maupun psikologis.

MERAJUT HUBUNGAN BERKUALITAS
Wanita yang mengalami krisis psikologi pascamelahirkan perlu menyusun kembali hubungan yang berkualitas dengan anggota keluarganya. Si kecil yang merajuk setiap kali si ibu akan pergi bekerja adalah ungkapan perasaan terancam karena ditinggalkan. Untuk mengatasinya, sang ibu perlu menciptakan secure attachment.

Secure attachment bisa dihasilkan dari hubungan yang berkualitas, yang terjalin antara ibu dan bayi. Caranya, si ibu perlu menghindari sikap cemas berlebihan dan over-protective, serta menjalin kedekatan yang hangat, akrab, dan proporsional dengan si kecil.

Pada akhirnya, keluarga memegang peranan penting untuk memulihkan kestabilan emosi para ibu. Keluarga yang dimaksud mencakup suami, orang tua, termasuk si pengasuh. Dukungan ini bisa bersifat fisik (mengambil alih tugas merawat bayi) maupun emosional (menghibur, menjadi teman bicara). Dengan upaya seluruh anggota keluarga, niscaya wanita yang baru menjadi ibu akan lebih mudah melewati masa krisis ini. Dan, ia pun siap menjalankan tugas barunya sebagai seorang ibu yang juga bekerja demi kesejahteraan keluarga.


sumber : http://www.femina-online.com/issue/issue_detail.asp?id=26&cid=3&views=109

Tidak ada komentar:

Posting Komentar