Sabtu, 01 Mei 2010

Eat, Pray, Love

Eat, Pray, Love

Sondang Sirait

Dal centro della mia vita venne una grande Fontana…
“From the center of my life, there came a great fountain…”
—“Eat, Pray, Love” by Elizabeth Gilbert, p. 39

(taken from a poem by Louise Glück)

Penulis: Elizabeth Gilbert
Penerbit: Viking Adult, 2006

Empat bulan berada di Italia, Elizabeth Gilbert mulai menemukan kekuatan dalam dirinya untuk bangkit dari reruntuhan jiwanya: pascaperceraian dan kebangkrutan. Di Italia, Gilbert bukan turis biasa. Negeri itu baginya merupakan tempat pelarian, awal sesuatu yang baru, yang dapat menghidupkan kembali seorang perempuan usia 30-an, yang sedang kehilangan kendali hidup. Lewat pendalaman bahasa asing yang eksotis, perkenalan dengan orang-orang Eropa yang penuh kehangatan, serta piring demi piring pizza dan pasta nan lezat, penulis asal New York itu kembali menemukan alasan berdamai dengan dirinya.

Tapi tak semudah itu berdamai dengan Jiwa yang terus dirongrong Depresi dan Kesepian. Meninggalkan keramaian Italia, ia pergi mencari ketenangan India. Di sana, ia menetap sebagai murid dan pelayan sebuah ashram. Sebagai murid, ia belajar meditasi dan membangun hubungan vertikal dengan Sang Pencipta. Sebagai pelayan, ia bekerja bagi Guru dan sesama penghuni ashram. Di India pula, ia belajar makna ajaran kitab Bhagavad Gita, bahwa lebih baik menjalani nasib sendiri secara tidak sempurna daripada meniru hidup orang lain secara sempurna. Episode di India bagi Gilbert adalah Episode Pencerahan Spiritual.

Pencerahan inilah yang ia terjemahkan ke dalam sikap hidup yang tenang dan positif, sesuatu yang diterapkan Gilbert di Pulau Bali, melalui interaksi dengan teman-teman barunya, dan kemudian dengan Si Pria Brazil Idaman. Maka lengkap sudah perjalanannya yang memakan satu tahun. Mission accomplished.

Kisah Gilbert bukan fiksi. Ini pemberontakan pribadi, terbungkus dalam upaya eksplorasi spiritual. Walau terkesan impulsif, tapi keberaniannya perlu diacungi jempol. Dalam hidup modern yang menuntut keseragaman perspektif akan cara menggapai kebahagiaan dan kesuksesan, sungguh menyegarkan melihat masih ada orang seperti Gilbert. Petualangannya mungkin dapat membuka wawasan bagi kita, tanpa harus menjalani apa yang ia lalui.

By the way, salah satu hal yang menarik dari Gilbert adalah ide untuk selalu mencari sebuah kata yang identik dengan diri atau kota yang kita diami. Baginya, kata itu adalah antevasin, berasal dari bahasa Sansekerta, berarti “orang yang hidup di perbatasan.” Ini menjelaskan mengapa ia tak pernah nyaman dalam zona tertentu, dan selalu berusaha melakukan eksplorasi, secara fisik maupun spiritual.

Kita tak mesti setuju dengan cara Gilbert, tapi mungkin menarik untuk memikirkan apa “kata” yang cocok menggambarkan kepribadian atau identitas diri masing-masing.


sumber : http://klubbukufilmsctv.wordpress.com/2008/12/15/eat-pray-love/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar