Senin, 22 Februari 2010

mewaspadai banjir dan tanah longsor

Mewaspadai Banjir dan Tanah longsor

Oleh : Prof.Dr.Ir.H. Suntoro Wongso Atmojo. MS.
Dekan Fakultas Pertanian UNS. Solo.
(Sekjen Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Pertanian Indonesia)
Banjir bandang disebabkan oleh dua kemungkinan yaitu karena rusaknya lingkungan hulu dan karena faktor geografis setempat. Bencana longsor lebih disebabkan oleh faktor alam, namun kerusakan lingkungan dapat memicunya. Sehingga pengelolaan lingkungan daerah hulu perlu dilakukan.
Curah hujan yang tinggi semalam suntuk Selasa lalu yang merata di berbagai daerah ternyata membawa bencana bagi daerah daerah seperti Solo, Karanganyar, Ngawi, Madiun, Wonogiri, Purwodadi dan daerah-daerah pantura, akibat banjir dan tanah longsor. Walaupun bencana ini lebih disebabkan oleh faktor alam baik topografi dan curah hujan, namun kerusakan lingkungan yang memicunya. Tidak menutup kemungkinan dampak perubahan iklim global berpengaruh pada pola curah hujan, dimana terjadinya kekeringan panjang dan banjir di saat musim hujan. Curah hujan yang sangat tinggi di atas normal di musim penghujan akan berdampak pada terjadinya banjir, erosi dan tanah longsor.
Sering kita terlambat dalam mengatasi masalah banjir, seharusnyalah masalah banjir diantisipasi jauh sebelum terjadi, kita baru sadar dan semangat membicarakannya tatkala musibah itu terjadi. Banjir bandang terjadi dimana-mana, merupakan peringatan bagi kita semua tentang arti pentingnya pengelolaan lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS). Konsep satu sungai satu perencanaan dan pengelolaan, harus terus dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan. Untuk itu diperlukan semangat kebersamaan dalam pengelolaan antar daerah di dalam satu kawasan DAS.
Kerusakan lingkungan karena rusaknya hutan di negeri kita saat ini sangat memprihatinkan. Sebagai contoh, pada tahun 2000 banyak terjadi deforesterisasi atau penebangan hutan liar, baik di hutan produksi ataupun dihutan rakyat, yang menyebabkan terjadinya kerusakan hutan dan lahan. Pada tahun 2000, kerusakan hutan dan lahan di Indonesia mencapai 56,98 juta ha, sedangkan tahun 2002 mengindikasikan berkembang menjadi 94,17 juta ha. Terlebih rusaknya hutan ini jika terjadi di daerah hulu, yang akan membawa bencana masyarakat daerah hilir.
Banjir bandang di berbagai wilayah seperti Bengawan Solo, sungai Madiun, Porwodadi, dan di pantura saat ini dapat disebabkan oleh dua kemungkinan yaitu karena luapan sungai akibat rusaknya hutan daerah hulu sebagi daerah tangkapan air, dan karena faktor geografis (topografi setempat). Terbukanya lahan daerah hulu akan menyebabkan terjadinya erosi berlebih, yang membawa tanah sedimen akan terendapkan di sungai, sehingga daya tampung sungai akan berkurang. Banjir bisa terjadi bila daya tampung sungai tidak mampu lagi menampung aliran air yang melalui sungai tersebut, volume limpasan air permukaan melebihi daya tampung, sehingga air menggenangi wilayah tempat aktivitas manusia. Banjir akan bisa menjadi lebih besar jika penyimpan air (water saving) tidak bisa menahan air limpasan. Hal ini bisa terjadi ketika hutan yang berfungsi sebagai daya simpan air tidak mampu lagi menjalankan fungsinya. Kejadian banjir ini, merupakan kejadian tahunan daerah hilir sungai rawan bencana apabila pengelolaan bagian hulu tidak diperbaiki dengan segera, baik melalui reboisasi/penghijauan dan upaya konservasi tanah.
Kejadian ini mengingatkajn kita saat terjadi banjir bandang di Solo tahun 1966, penyebab utama karena rusaknya hutan daerah hulu (Wonogiri dan sekitarnya). Banjir saat itu karena masyarakat daerah hulu kurang sadar akan arti pentingnya fungsi hutan. Banyak masyarakat Wonogiri yang menambang batu kapur, dengan mengkonsumsi kayu yang berlebih, menyebabkan rusaknya hutan, sehingga penutupan lahan akan berkurang dan lahan terbuka. Keadaan ini menyebabkan terjadinya erosi dan akan terendap di sungai Bengawan Solo, sehingga daya tampung sungai berkurang, maka terjadi banjir, saat itu sampai menenggelamkan sebagian besar kota Solo. Kemudian Bank Dunia membangun waduk Serbaguna Wonogiri, salah satu dampaknya kota Solo terhindar dari ancaman banjir bandang hingga saat ini. Tapi perlu diingat, waduk akan berfungsi dengan efektif, tergantung dari pengelolaan hutan dan lahan daerah tangkapan di bagian hulu. Namun jika pengelolaan lahan daerah hulu sudah tidak baik lagi maka juga akan membawa bencana lagi. Penebangan hutan saat ini tidak lagi sekedar untuk kayu bakar dan menambang kapur, namun lebih banyak untuk keperluan bangunan maupun untuk perkakas rumah tangga yang tidak pernah ada cukupnya.
Banjir juga bisa disebabkan oleh faktor geografis (topografi daerah) dan curah hujan setempat yang terlalu tinggi dan tidak bisa terbuang dalam waktu singkat sehingga butuh waktu menyebabkan didaerah rendah sempat tenggelam. Misal banjir di Solo Februari lalu terjadi karena curah hujan sangat tinggi yang mencapai 109,5 mm jauh lebih besar dari curah hujan rata-rata 50 mm, sehingga menyebakan air limpasan melebihi kapasitas anak sungai yang melintasi kota. Sementara untuk mencapai saluran pembuangan dibutuhkan waktu, sehingga terjadi genangan/banjir. Banjir kota sering disebabkan oleh saluran air drainase (pembuangan) tidak berfungsi secara maksimal, karena banyak yang tertutup oleh sampah dan endapan sedimen tanah (waled). Waled pada sungai/saluran/selokan menyebabkan volume saluran akan berkurang sehingga daya tampung air drainase akan berkurang. Masyarakat kita masih banyak yang terbiasa hidup tidak disiplin, membuang sampah sembarangan, semisal memasukkan sampah ini ke dalam got, sungai, atau sembarang tempat.. Kebiasaan semacam ini akan memicu terjadinya banjir.
Penyebab lain, masyarakat daerah perkotaan umumnya rasa ego-pribadinya lebih tinggi. Setiap orang berkeinginan agar rumahnya terhindar dari genangan, dengan cara halamannya ditutup dengan plester (beton), menyebabkan air hujan sebagian besar sebagai air limpasan yang tidak bisa meresap ke dalam tanah. Masing-masing rumah berlomba-lomba meninggikan halamannya. Menyebabkan permukaan halaman lebih tinggi dari jalan, sehingga jika terjadi hujan, air akan terkonsentrasi ke tubuh jalan, sehingga jalan bagaikan sungai. Banjir atau genangan tidak bisa kita hindarkan, dimana air bersumber dari curah hujan yang turun di daerah setempat saja, dan air tidak bisa terdrainase. Kejadian demikian apabila terjadi di daerah yang rendah maka akan terjadi genangan yang lama, sehingga sering kita lihat di perkotaan seperti Jakarta misalnya terjadi banjir atau genangan yang tidak surut berhari-hari sebab air tidak bisa meresap atau terdrainase.
Tindakan salah yang sering dilakukan untuk mengatasi genagan air di jalan, yaitu dengan meninggikan permukaan jalan dengan melapis kembali aspal atau beton, tanpa memikirkan larinya air limpasan jika hujan, akibatnya jalan tinggi bagaikan tanggul, sehingga air limpasan akan menggenang di pemukinan di sekitarnya. Oleh karena itu, setiap meninggikan jalan harus dipikirkan juga larinya air drainase.
Banjir di perkotaan dapat juga terjadi karena kumpulan air limpasan dari daerah sekitar yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah (daerah cekungan). Pada daerah demikian perlu pembuatan saluran drainase (sudetan) menuju ke sungai utama.
Kasus lain, pemekaran kawasan pemukiman menggunakan daerah rendah (seperti sawah, rawa, embung), sehingga walaupun lahan telah ditimbuni tanah (urug) dan telah diratakan, namun apabila drainasenya tidak diperhitungkan, maka berpotensi terjadi banjir atau genangan menginat topogarfi alamnya yang rendah.

Tanah Longsor
Kejadian longsor tidak semata disebabkan oleh kerusakan lingkungan namun lebih disebabkan oleh faktor alam yaitu curah hujan, jenis tanah dan topografinya berbukit/berlereng. Bencana tanah longsor di Karanganyar yang menelan korban 64 jiwa, merupakan peringatan bagi kita, kejadian duka ini juga terjadi di Ngawi dan Wonogiri. Tanah longsor merupakan ancaman tersendiri bagi daerah dengan kemiringan curam, bahkan mengancam jiwa bagi masyarakat yang ada dibagian bawah. Hujan yang lebat dengan volume tinggi akan yang menjadi penyebab tanah longsor didaerah lereng curam rawan longsor. Tanah longsor sendiri merupakan gejala alam yang terjadi di sekitar kawasan pegunungan. Semakin curam kemiringan lereng satu kawasan, semakin besar kemungkinan terjadi longsor. Semua material bumi pada lereng memiliki sebuah "sudut mengaso atau sudut di mana material ini akan tetap stabil. Bebatuan kering akan tetap di tempatnya hingga kemiringan 30 derajat, akan tetapi tanah yang basah akan mulai meluncur jika sudut lereng lebih dari 2 derajat saja. Sehingga jika curah hujan tinggi dan mengguyur dalam tempo lama, maka menyebabkan tanah menjadi jenuh dengan air, dan jika sudut lereng curam maka sangat rentan terjadi longsor.
Untuk mengantisipasi terjadinya tanah longsor bisa dilakukan upaya memperbaiki kawasan lereng secara intensif, misalnya dengan mengokohkan permukaan tanah ke lapisan di bawahnya dengan melakukan pengecoran atau membangun sistem pengairan untuk mengurangi erosi air dan menjaga kestabilan tanah. Pembuatan tanggul atau bir tebing rawan longsor serta penguatan dengan rumput perlu dilakukan, terutama di lokasi-lokasi sarana umum. Memang tanah longsor tidak semata disebabkan oleh rusaknya lingkungan di daerah tersebut, namun rusaknya lingkungan ini akan memicu terjadinya longsor. Lahan miring rawan longsor yang terbuka akan lebih rentan terjadi longsor dan erosi. Curah hujan daerah atasan akan menjadi aliran permukaan (run of), dan akan menyebabkan tanah menjadi jenuh sehingga tanah menjadi tidak stabil lagi dan akan memicu terjadinya longsor. Sehingga upaya penutupan tanah lahan atasan dengan penghijauan pelu dilakukan terutama di lahan-lahan bagian atas yang rentan longsor. Disamping itu, jenis tanah akan berpengaruh, misalnya tanah berlempung akan lebih rentan terhadap erosi dan longsor.
Perlu adanya pemetaan daerah rawan bencana tanah longsor, untuk menjadi dasar bagi penataan ruang dan langkah-langkah mitigasi, seperti penerapan sistem peringatan dini dan pengkajian tingkat resiko longsor pada kebijakan penataan ruang, dimana pembangunan diarahkan pada kawasan dengan resiko ketidak stabilan longsor rendah atau sangat rendah. Kita sadari penataan ulang tempat penduduk dilahan yang rentan terhadap tanah longsor bukannya hal yang mudah. Walaupun berbagai upaya baik penyuluhan untuk menyadarkan masyarakat yang tinggal didaerah tersebut telah dilakukan maupun penyiapan vasilitas relokasi telah disiapkan. Hal ini karena banyak pertimbangan yang menyebabkan keberatannya warga untuk pindah, antara lain pertimbangan akses keladang mereka, kesuburan tanah, keberadaanya yang sudah mapan sejak ayah dan mbahnya dulu, maupun pertimbangan sosial lainnya. Sebab masyarakat di daerah rawan longsor merasa belum pernah terjadi longsor, baru tahu dan sadar, setelah bahaya longsor terjadi. Penataan ruang lebih mudah untuk dilakukan bagi pembangunnan pemukiman baru.
Sebenarnya perlu adanya penataan ulang penggunaan lahan secara menyeluruh dikawasan lereng gunung. Mengingat banyak penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan daya dukung dan upaya konservasi yang masih minim. Misalnya pengunaan lahan-lahan pertanian di lereng lawu. Penggunaan lahan miring hingga sangat miring (lebih dari 45 derajat) untuk tanaman sayur-sayuran. Memang penggunaan semacam ini bisa dilakukan sepanjang upaya konservasinya juga dilakukan, misalnya pembuatan teras, penanaman searah dengan kontur (garis ketinggian).
Walaupun upaya penghijauan dan reboisasi melalui berbagai gerakan seperti GERHAN telah dilakukan, namun pengendalian penebangan hutan pada dasarnya jauh lebih penting. Kita harus sadar menebang pohon satu tidak impas (sebanding) dengan menanam satu pohon. Mengingat untuk menumbuhkan satu pohon hingga besar butuh waktu, energi dan pemeliharaan penuh. Jangan berarti penebangan hutan yang diikuti dengan penanaman pohon sudah selesai. Namun perlu di fikirkan jumlah biomasa tegakan hutan harus diperhitungkan.



link :http://www.google.co.id/search?q=mewaspadai+banjir+tahunan&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a

Tidak ada komentar:

Posting Komentar